Selasa, 16 April 2013

Tin... Tin... Pos


Tin.. tin.. suara klakson motor terdengar dari pintu pagar rumahku. Tamu, begitu pikirku. Ibu segera keluar dari dapur dan bergegas keluar.

“Pos,,,,”, sebuah suara memanggil setelah bunyi klakson mereda

Wah tukang pos,,, mendengar suara si tukang pos aku menjadi bersemangat. Pos,, sudah lama sekali keluarga kami tak menerima pos. Aku membayangkan saat ibuku masuk kembali ke rumah, beliau akan membawa sepucuk surat atau paket atau apapun itu yang mestinya diantar oleh tukang pos

Imajinasiku membawa diriku mundur sekitar 10 tahun yang lalu, saat pos menjadi media terdekatku dalam berkomunikasi. Saat itu aku harus bergegas pulang sekolah setiap kamis, kemudian makan siang secepatnya dan menggoes sepeda secepatnya ke kantor pos yang akan tutup pukul 1 siang, untuk mengeposkan kuis dan sayembara yang aku ikuti dari majalah Bobo.

Setidaknya, selain Kamis aku bisa santai sedikit, walaupun setiap aku pulang sekolah selalu ada-setidaknya 3-dari sahabat penaku. Surat-surat itu memang banyak menyitaku. Menyita waktu, untuk membalas surat-surat sahabat pena, dan juga uang(aku membeli semua kebutuhan pos dari prangko, amplop, kertas surat dan kartu pos dari uang sakuku). Lelah?? Tidak. Sangat asyik

Walaupun saat ini banyak media untuk berkomunikasi, seperti jejaring social, sms, telepon, bbm, dan segala macam chat. Tapi tetap tak seasyik surat menyurat dengan pos.

Moderenisasi mengubah komunikasi mejadi lebih simple dan mudah. Namun aku merasa sedikit kosong. Ada yang hilang saat aku pulang kerumah tanpa mendengar suara klakson motor dan suara “Pos,,,,”. Ada yang hilang dari berburu prangko dan mengoleksinya. Ada yang hilang tak meilhat tulisan tangan teman-temanku. Ada yang hilang saat aku tak lagi berteriak dan meloncat kegirangan melihat paket dari hadiah kuis yag kumenangkan. Ada yang hilang saat kami bertemu kembali di jejaring social, ada chemistry yang menguap. Semuanya tak lagi sama.

Tap,,tap,, suara langkah kaki. Nah ibuku sudah masuk lagi kedalam rumah.

“Dapat kiriman pos apa, Bu?”, tanyaku.

“Tukang pos-nya bingung cari alamat. Surat yang diantarnya beralamtkan rumah kita!”
Yah, ternyata salahn sambung,  eh salah, salah alamat. Alamat palsu mungkin. Tak apalah. Walaupun salah, setidaknya si Pak pos bisa memberiku waktu sejenak untuk mengenang masa ‘surat-menyuratku’


Tidak ada komentar: