Pertama kali aku kenal Hunger Games itu saat ada
pengumuman “Jakarta Adventure Day”. Acara ini ternyata diselenggarakan oleh dua
komunitas yaitu Indo Harry Potter dan Indo Hunger Games. Sebulan setelah
pengumuman acara tersebut, aku iseng mencari tahu apa sih Hunger Game itu. Aku,
seperti orang awam kebanyakan, berfikir apa hubungannya Harpot dengan Hunger
Game. Aku pikir itu hanya salah satu game (merujuk kepada kata Game dari frasa
The Hunger Games) seperti Lost Saga, Point Black, dll. Apalagi kata Mockingjay
itu gak asing bagi telingaku. Rasa rasanya pernah dengar gitu.
Ternyata Hunger Games itu novel trilogi karangan
Suzanne Collins. Aku tertarik saat membaca kritik untuk buku ini yang katanya
kejam. Bagaimana tidak, dalam permainan Hunger Games anak-anak kecil diadu
untuk saling bunuh. Wuih… seru deh kayaknya kalau baca bukunya.
Aku yang pada dasarnya suka heboh jika menemukan
sesuatu yang WAH, langsung berkata-kata sendiri di depan komputer hingga
menarik perhatian teman-teman kerjaku. Aku jelaskan pada mereka bahwa aku penasaran
dengan cerita The Hunger Games. Eh,, ternyata teman kerjaku malah sudah pernah
nonton film-nya. Dan dia berjanji esok hari akan membawakan kasetnya untukku.
(Aku tambah terkejut saat tahu Novel ini sudah diadaptasi ke film). Aku pun
bergembira sekali dan segera mencoba mencari e-book The Hunger Games dan akhirnya
aku berhasil menemukan ketiganya (The Hunger Games, Catching Fire, dan
Mockingjay). Semuanya versi bahasa Inggris, tapi tak apalah. Yang terpenting aku
bisa baca.
Dua minggu lamanya aku tenggelam dalam layar laptopku.
Kerjaanku hanya baca, baca dan baca. Ternyata novelnya keren banget. Apa saja yang keren? Mau tahu? Kasih tahu
nggak ya? Ehehehe.
Menurutku, yang keren itu sih dari peraturan Hunger
Games sendiri yang brutal (ya iyalah, anak-anak kecil diadu untuk saling bunuh.
Mereka kan manusia, bukan domba atau ayam jago). Yang lebih mirisnya, sebelum
dilepas ke arena, para tribute (24 anak itu) dimanjakan. Lihat saja mereka
didandani menjadi sangat cantik dan tampan, padahal mereka (beberapa)
sebelumnya tak pernah memakai baju bagus dan berpenampilan menarik. Selain
pakaian, mereka juga bisa makan apa saja. Makanan yang sangat mewah dan mahal yang
belum pernah mereka makan karena sebelumnya mereka terbiasa hidup miskin dengan
perut selalu keroncongan. Ironis banget. Mereka kan tahu apa tujuan mereka ikut
Hunger Games. Untuk bertarung dan mati (setidknya 23 dari mereka). Dan Capitol
memperlalukan mereka persis seperti babi yang akan disembelih.
Selain peraturan Hunger Games yang miris, aku juga
hanyut akan kehidupan Katniss sendiri. Thumbs up deh dan setuju banget dia itu
survivor. Sejak umur sebelas tahun dia jadi kepala keluarga dan selalu berjuang
menghidupi ibu dan adiknya. Penggambaran Suzanne atas Katniss membuatku ingat
akan diriku. Aku juga anak pertama dan aku berasal dari keluarga yang biasa
saja. Aku harus berjuang menghadapi kemelut hidup ini demi ibu dan tiga adiku.
Yah, untuk ayahku juga sih. Hanya saja peran kepala keluarga sudah terbagi pada
diriku, tak mutlak dimiliki beliau.
Cara Katniss berjuang ini mengingatkanku untuk tak
lepas kontrol pada nafsu dan menyadarkaknku akan lima nyawa lain di rumah.
Bahkan penggambaran rasa lapar merasuk dengan kuat dalam azzamku. Aneh memang, Indonesia
masih memiliki banyak masyarakat kelaparan yang sering ditampilkan di layar
kaca, tapi entah kenapa penggambaran Suzanne Collins-lah yang benar-benar
menyentuhku dan membuatku merasa sebagai Katniss Everdeen.
Poin menarik ketiga mengenai star-crossed lovers
district 12 yaitu Katniss dan Peeta. Jujur saja, dari ketiga buku aku sangat
menyukai Catching Fire karena di buku tersebut banyak menceritakan Peeta dan Katniss
yang melibatkan emosi(perasaan). Aku menyukai bagaimana cinta mereka tumbuh
melalui Hunger Games dan kata-kata ”That’s what we do, protect each other”
mengingatkanku pada partner perjuanganku di organisasi. Rintangan dalam berorganisasi
membuat hubungan kami dekat walau sebelumnya kami hanya teman biasa yang hanya
berkata ’Hai’ sat bertemu sebagai basa-basi. Di organisasi, kami saling
menguatkan, saling menghibur bahkan bekerjasama menyelesaikan tugas-tugas
kuliah. Sayang, aku tak bisa mempertahankan hubungan ini. Dan kami kembali
seperti dulu, menjadi teman biasa.
Poin keempat, dalam seri ketiga (Mockingjay), aku
hanyut dalam perasaan Katniss yang galau tingkat dewa. Bagaimana tidak, banyak
orang-orang yang dia cintai harus terancam. Katniss tak suka Distrik 13
memperlalukan dirinya dan tak ada satu orangpun yang mengerti dirinya dan mampu
menentramkan hatinya. Memang ada orang yang tepat, hanya saja orang itu berada
dalam cengkeraman Capitol, Peeta Mellark. Jika saja Peeta ada di distrik 13
bersama Katniss, tentu dia akan mendukung apapun yang dilakukan Katniss dan
menetramkan Katniss saat Katniss bermimpi buruk, bukan seperti Gale yang keras kepala dan
penuh emosi.
Ada bagian yang kusuka disini. Saat Finnick telah
menikah dengna Annie, Katniss iri melihat Finnick yang selalu menggenggam
tangan Annie. Katniss iri karena Finnick bisa melakukan itu sesukanya dan
dengan bahagia. Katniss membandingkan hal ini dengan dirinya. Bagaimana dia
selalu show up dengan Peeta namun itu hanya akting dan bagaimana dia dengan
Gale yang serba salah dan nyaris kaku. Ah,, dasar cinta. Deritanya tiada akhir (Patkai
kali)
Anyway, Ladies and Gentlemen, those all what I feel
about The Hunger Games. May the odds be ever in our favor. Mischief managed,
then Nox (eh, itu Harry Potter)
#Hunger of November. Nggak sabar mau nonton Catching
Fire :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar