Aku masih ingat pertama kali aku membaca seri pertama
buku Harry Potter. Saat itu aku masih duduk
di kelas 6 sd. Sejujurnya, aku sudah membaca seri kedua sebelum aku membaca
seri yang pertama. Membaca seri yang pertama memberiku sedikit pemahaman dari
hal-hal yang kubaca di seri ke dua.
Aku
sempat membaca versi bahasa Inggrisnya saat aku duduk di bangku kuliah. Saat
itu aku berada di semester tiga. Masih muda untuk memahami kesusastraan. Aku membaca
Hary Potter and the Sorceres Stone secara sekilas karena aku ingin tahu
bagaimana gaya tulisan Rowling.
Dan
dengan adanya event Hotter
Potter Reading Event, aku kembali membaca e-book Harry Potter dan
Batu Bertuah setelah sebelas tahun. Membaca
untuk kedua kalinya benar-benar mengagumkan, seperti aku baru pertama kali membaca cerita
Harry Potter. Selain itu, usia yang bertambah juga membuatku mendapatkan lebih
dari sekedar cerita dari coretan Tante Rowling ini.
Seri pertama Harry Potter
menceritakan tahun pertama Harry di sekolah sihir Hogwarts. Bagaimana Harry
yang bukan siapa-siapa dan selalu merasa salah tempat tiba-tiba dikagumi dan
dikenal banyak orang yang bahkan Harry sendiri tidak mengenal mereka. Hogwarts
jugalah yang membuat Harry merasakan bagaimana tinggal di rumah karena untuk
pertama kalinya Harry bisa makan sepuasnya, tidur dengan nyaman dan tentu saja
memiliki teman-teman yang menerimanya dengan senang hati.
Selain
menemukan rumah, Harry juga mengalami petualangan seru mendapatkan Batu bertuah.
Petualangan ini dimulai dari berita tentang Bank Gringgots yang berhasil
dimasuki perampok. Harry yang mengetahui bahwa lemari besi yang dimasuki telah
dikosongkan, karena Harry menemani Hagrid mengambil sebuah bungkusan di lemari
besi tersebut, terus menerus menanyai Hagrid untuk memberitahu tentang isi
bungkusan di lemari besi tersebut.
Berbekal
ucapan kelepasan Hagrid, Harry dan kedua sahabatnya, Ron dan Hermione mulai
melakukan investigasi mengenai Nicholas Flamel sampai akhirnya mereka
mengetahui tentang Batu Bertuah sekaligus fungsinya. Mereka juga sadar bahwa Batu
tersebut disembunyikan di Hogwarts dengan perlindungan ekstra dari para guru
Hogwarts.
Aku suka gaya menulis Rowling
yang menyebutkan karakter seakan mereka hanyalah figuran biasa namun ternyata
karakter tersebut memiliki peran penting di buku-buku selanjutnya. Sebagai
contoh adalah Sirius Black. Namanya muncul ketika Hagrid menjawab pertanyaan
Dumbledore tentang motor terbang yang dikendarainya. “Pinjam, Professor
Dumbledore. Srius Black muda pinjamkan padaku. Aku dapat dia, Sir.”
Lau ada Mrs.Figg yang dikenalkan
Rowling sebagai tetangga keluarga Dursley yang suka mereka mintai tolong untuk
menjaga Harry saat mereka pergi. Selain itu ada juga adik Vernon Dursley yang
biasa disebut Bibi Marge, Dedalus Digle yang juga sahabat Dumbedore, Scabbers
yang menjadi tikusnya Ron, dan bahkan kemampuan Parseltongue Harry, yang memang
sangat jarang bagi penyihir sekalipun.
Setelah
menekuni isi cerita ini, aku semakin tertarik dengan tulisan tante Rowling.
Yang membuat buku Harry Potter berbeda dengan novel fantasi lainnya-sekalipun
novel tersebut bertemakan sihir- adalah bahwa sihir itu benar-benar ada!
Maksudku anak-anak merasa mereka mampu mempelajari sihir dengan menirukn
mantra-mantra yang disebutkan di buku Harry Potter dan batu bertuah ini.
Contohnya saja, Alohomora, Petrificus Totalus, Locomotor Murtis, dan tentu saja
yang paling popular (bahkan beberapa acara tivi meniru mantra ini untuk adegan
sihir) adalah Wingardium Leviosa.
Hal
lain yang kusukai dari novel ini adalah tentang prejudice (prasangka).
Bagaimana para darah murni membenci muggle dan juga kelahiran muggle. Contoh dari
hali ini termaktub dalam adegan dimana Harry akan membeli jubbah sihir barunya.
Disana dia bertemu Draco Malfoy dan mereka terlibat percakapan. Ucapan Draco
dapat dinilai sangat kasar untuk anak seusianya. Namun Draco juga tak bisa
seenaknya disalahkan. Dia dibesarkan dengan prasangka jelek terhadap Muggle dan
kelahiran Muggle. Topik inilah yang membuatku teringat akan politik Apartheid
dimana ada perbedaan antara kulit hitam dan putih. Para kulit putih muda
terkadang merasa malas bergaul dengan para kulit hitam muda. Ini karena
prasangka yang ditanamkan para orang tua saat mereka sejak balita dan itu
mempengaruhi pemikiran mereka bahkan ketika mereka dewasa.
Satu
hal lucu mengenai Harry Potter. Membacanya seakan aku menemukan kehidupan baru.
Menekuni lika-liku kehidupan Harry di tahun awal Hogwarts membuatku tertantang
untuk merasakan hidup di asrama. Aku bahkan membayangkan asramaku akan menyerupai
Hogwarts J. Itu sebabnya aku
tak membawa piring ketika perpindahanku ke asrama. Karena aku berfikir para
murid akan makan bersama di Aula Besar.
Inilah
review buku Harry Potter dan Batu Bertuah-ku. Nggak nyangka bias ikut event
seru ini. Apalagi tentang meriview buku. Padahal baru dua minggu yang lalu aku
mengajarkan murid-muridku mereview buku James and The Giant Peach-nya Roald
Dahl, ternyata aku juga ikut perpartisipasi mereview buku. Hanya saja buku-buku
karya JK rowling J
2 komentar:
Tentang prejudice itu masuk akal juga, bisa jadi JKR memang mengangkat kesenjangan antara pure-blood dengan half-blood dan muggleborn sebagai simbol kesenjangan sosial di dunia nyata...
benar, mbak. dan manusia gak begitu saja punya pandangan seperti itu jika orang yang mendidiknya tidak memberikan doktrin seperti itu.
Posting Komentar