Senin, 28 Januari 2013

Review buku Harry Potter dan batu Bertuah

 Aku masih ingat pertama kali aku membaca seri pertama buku Harry Potter. Saat itu aku masih duduk di kelas 6 sd. Sejujurnya, aku sudah membaca seri kedua sebelum aku membaca seri yang pertama. Membaca seri yang pertama memberiku sedikit pemahaman dari hal-hal yang kubaca di seri ke dua.

Aku sempat membaca versi bahasa Inggrisnya saat aku duduk di bangku kuliah. Saat itu aku berada di semester tiga. Masih muda untuk memahami kesusastraan. Aku membaca Hary Potter and the Sorceres Stone secara sekilas karena aku ingin tahu bagaimana gaya tulisan Rowling.

Dan dengan adanya event Hotter Potter Reading Event, aku kembali membaca e-book Harry Potter dan Batu Bertuah setelah sebelas tahun. Membaca  untuk kedua kalinya benar-benar mengagumkan, seperti aku baru pertama kali membaca cerita Harry Potter. Selain itu, usia yang bertambah juga membuatku mendapatkan lebih dari sekedar cerita dari coretan Tante Rowling ini.

Seri pertama Harry Potter menceritakan tahun pertama Harry di sekolah sihir Hogwarts. Bagaimana Harry yang bukan siapa-siapa dan selalu merasa salah tempat tiba-tiba dikagumi dan dikenal banyak orang yang bahkan Harry sendiri tidak mengenal mereka. Hogwarts jugalah yang membuat Harry merasakan bagaimana tinggal di rumah karena untuk pertama kalinya Harry bisa makan sepuasnya, tidur dengan nyaman dan tentu saja memiliki teman-teman yang menerimanya dengan senang hati.

Selain menemukan rumah, Harry juga mengalami petualangan seru mendapatkan Batu bertuah. Petualangan ini dimulai dari berita tentang Bank Gringgots yang berhasil dimasuki perampok. Harry yang mengetahui bahwa lemari besi yang dimasuki telah dikosongkan, karena Harry menemani Hagrid mengambil sebuah bungkusan di lemari besi tersebut, terus menerus menanyai Hagrid untuk memberitahu tentang isi bungkusan di lemari besi tersebut.

Berbekal ucapan kelepasan Hagrid, Harry dan kedua sahabatnya, Ron dan Hermione mulai melakukan investigasi mengenai Nicholas Flamel sampai akhirnya mereka mengetahui tentang Batu Bertuah sekaligus fungsinya. Mereka juga sadar bahwa Batu tersebut disembunyikan di Hogwarts dengan perlindungan ekstra dari para guru Hogwarts.

Aku suka gaya menulis Rowling yang menyebutkan karakter seakan mereka hanyalah figuran biasa namun ternyata karakter tersebut memiliki peran penting di buku-buku selanjutnya. Sebagai contoh adalah Sirius Black. Namanya muncul ketika Hagrid menjawab pertanyaan Dumbledore tentang motor terbang yang dikendarainya. “Pinjam, Professor Dumbledore. Srius Black muda pinjamkan padaku. Aku dapat dia, Sir.”

Lau ada Mrs.Figg yang dikenalkan Rowling sebagai tetangga keluarga Dursley yang suka mereka mintai tolong untuk menjaga Harry saat mereka pergi. Selain itu ada juga adik Vernon Dursley yang biasa disebut Bibi Marge, Dedalus Digle yang juga sahabat Dumbedore, Scabbers yang menjadi tikusnya Ron, dan bahkan kemampuan Parseltongue Harry, yang memang sangat jarang bagi penyihir sekalipun.

Setelah menekuni isi cerita ini, aku semakin tertarik dengan tulisan tante Rowling. Yang membuat buku Harry Potter berbeda dengan novel fantasi lainnya-sekalipun novel tersebut bertemakan sihir- adalah bahwa sihir itu benar-benar ada! Maksudku anak-anak merasa mereka mampu mempelajari sihir dengan menirukn mantra-mantra yang disebutkan di buku Harry Potter dan batu bertuah ini. Contohnya saja, Alohomora, Petrificus Totalus, Locomotor Murtis, dan tentu saja yang paling popular (bahkan beberapa acara tivi meniru mantra ini untuk adegan sihir) adalah Wingardium Leviosa.

Hal lain yang kusukai dari novel ini adalah tentang prejudice (prasangka). Bagaimana para darah murni membenci muggle dan juga kelahiran muggle. Contoh dari hali ini termaktub dalam adegan dimana Harry akan membeli jubbah sihir barunya. Disana dia bertemu Draco Malfoy dan mereka terlibat percakapan. Ucapan Draco dapat dinilai sangat kasar untuk anak seusianya. Namun Draco juga tak bisa seenaknya disalahkan. Dia dibesarkan dengan prasangka jelek terhadap Muggle dan kelahiran Muggle. Topik inilah yang membuatku teringat akan politik Apartheid dimana ada perbedaan antara kulit hitam dan putih. Para kulit putih muda terkadang merasa malas bergaul dengan para kulit hitam muda. Ini karena prasangka yang ditanamkan para orang tua saat mereka sejak balita dan itu mempengaruhi pemikiran mereka bahkan ketika mereka dewasa.

Satu hal lucu mengenai Harry Potter. Membacanya seakan aku menemukan kehidupan baru. Menekuni lika-liku kehidupan Harry di tahun awal Hogwarts membuatku tertantang untuk merasakan hidup di asrama. Aku bahkan membayangkan asramaku akan menyerupai Hogwarts J. Itu sebabnya aku tak membawa piring ketika perpindahanku ke asrama. Karena aku berfikir para murid akan makan bersama di Aula Besar.

Inilah review buku Harry Potter dan Batu Bertuah-ku. Nggak nyangka bias ikut event seru ini. Apalagi tentang meriview buku. Padahal baru dua minggu yang lalu aku mengajarkan murid-muridku mereview buku James and The Giant Peach-nya Roald Dahl, ternyata aku juga ikut perpartisipasi mereview buku. Hanya saja buku-buku karya JK rowling J    

 
  

2 komentar:

Melisa mengatakan...

Tentang prejudice itu masuk akal juga, bisa jadi JKR memang mengangkat kesenjangan antara pure-blood dengan half-blood dan muggleborn sebagai simbol kesenjangan sosial di dunia nyata...

irny niziky mengatakan...

benar, mbak. dan manusia gak begitu saja punya pandangan seperti itu jika orang yang mendidiknya tidak memberikan doktrin seperti itu.